Tari
Cakalele ternyata tidak dimiliki oleh masyarakat Ambonsaja, suku Minahasa
ternyata juga memiliki budaya tarian perang itu. Tentunya, dengan gaya gerakan
dan pakaian yang memiliki khas tersendiri.
Bentuk pakaiannya, dengan menggunakan dasar kain karung goni. Kemudian di seluruh permukaannya dihiasi rumbai-rumbai kain berwarna merah dengan panjang hingga di bawah lutut. Pada kaki, pada bagian betis, dibebat dengan bahan yang sama. Sebagai alas kaki, penari mengenakan sandal khusus yang juga terbuat dari karung goni.
Paling menarik adalah mahkota yang mereka pakai. Berbentuk kepala burung, dengan moncong lancip berwarna kuning. Kemudian di atasnya bulu-bulu yang berasal dari bulu ekor dan sayap ayam jantan. Tapi itu untuk penari bagian prajurit. Sedangkan bagi sang pemimpin, mahkotanya menggunakan bulu dan sayap dari burung elang. “Ini sebagai simbol dari kekuatan sang pemimpin. Termasuk kalung tiga tengkorak yang saya pakai ini,” jelas Odi, penari yang mendapat bagian sebagai pemimpin.
Tiga tengkorak yang bergerai di leher Odi itu merupakan tulang tengkorak dari monyet. Masih menurut Odi, seharusnya tengkorak yang dipakai adalah tengkorak manusia. Tapi zaman sekarang siapa yang mau menyediakan dan menggunakan tengkorak manusia hanya sekadar untuk menari. “Jadi para pemimpin adat Minahasa sepakat menggantinya dengan tengkorak monyet ini,” tandas Odi.
Tak hanya itu, untuk prajurit, mereka dilengkapi dengan tameng kayu dan tombak. Sedangkan pemimpinnya cukup dengan tombak. Kemudian gerakan tarian mereka, terbagi menjadi beberapa bagian. Mulai dari persiapan, maju berhadap-hadapan, hingga saling serang. Kemudian diakhiri dengan saling mundur. Uniknya, sebelum dan sesudah menari, mereka lebih dulu saling memberi penghormatan.
Sebagai iringan, tarian ini cukup menggunakan alat musik sederhana. Sebuah drum kecil yang dipukul bertalu-talu dan berhenti sejenak, setiap sang pemimpin meneriakkan komando.
Menari Cakalele itu sendiri bagi Odi dan rekan-rekannya sudah menjadi pekerjaan. Mereka tergabung dalam sanggar kesenian yang ada di Tondano Timur dan selalu berlaga di depan wisatawan yang datang ke Danau Tondano. “Kalau sedang tak ada wisatawan dan tidak menari, kami biasanya bekerja di ladang atau sawah,” ungkap Deran, salah satu penari lain yang menari sebagai prajurit.
Bentuk pakaiannya, dengan menggunakan dasar kain karung goni. Kemudian di seluruh permukaannya dihiasi rumbai-rumbai kain berwarna merah dengan panjang hingga di bawah lutut. Pada kaki, pada bagian betis, dibebat dengan bahan yang sama. Sebagai alas kaki, penari mengenakan sandal khusus yang juga terbuat dari karung goni.
Paling menarik adalah mahkota yang mereka pakai. Berbentuk kepala burung, dengan moncong lancip berwarna kuning. Kemudian di atasnya bulu-bulu yang berasal dari bulu ekor dan sayap ayam jantan. Tapi itu untuk penari bagian prajurit. Sedangkan bagi sang pemimpin, mahkotanya menggunakan bulu dan sayap dari burung elang. “Ini sebagai simbol dari kekuatan sang pemimpin. Termasuk kalung tiga tengkorak yang saya pakai ini,” jelas Odi, penari yang mendapat bagian sebagai pemimpin.
Tiga tengkorak yang bergerai di leher Odi itu merupakan tulang tengkorak dari monyet. Masih menurut Odi, seharusnya tengkorak yang dipakai adalah tengkorak manusia. Tapi zaman sekarang siapa yang mau menyediakan dan menggunakan tengkorak manusia hanya sekadar untuk menari. “Jadi para pemimpin adat Minahasa sepakat menggantinya dengan tengkorak monyet ini,” tandas Odi.
Tak hanya itu, untuk prajurit, mereka dilengkapi dengan tameng kayu dan tombak. Sedangkan pemimpinnya cukup dengan tombak. Kemudian gerakan tarian mereka, terbagi menjadi beberapa bagian. Mulai dari persiapan, maju berhadap-hadapan, hingga saling serang. Kemudian diakhiri dengan saling mundur. Uniknya, sebelum dan sesudah menari, mereka lebih dulu saling memberi penghormatan.
Sebagai iringan, tarian ini cukup menggunakan alat musik sederhana. Sebuah drum kecil yang dipukul bertalu-talu dan berhenti sejenak, setiap sang pemimpin meneriakkan komando.
Menari Cakalele itu sendiri bagi Odi dan rekan-rekannya sudah menjadi pekerjaan. Mereka tergabung dalam sanggar kesenian yang ada di Tondano Timur dan selalu berlaga di depan wisatawan yang datang ke Danau Tondano. “Kalau sedang tak ada wisatawan dan tidak menari, kami biasanya bekerja di ladang atau sawah,” ungkap Deran, salah satu penari lain yang menari sebagai prajurit.