Tradisi Memindahkan Rumah di Minahasa, Sulawesi Utara

 Tradisi Memindahkan Rumah di Minahasa, Sulawesi Utara

Di Kota Manado sampai pada sekitar tahun 1970 an pernah ada suatu tradisi, yakni tradisi memindahkan rumah secara bersama-sama. Namun saat sekarang ini tradisi tersebut telah hilang. Akan tetapi di Kota Amurang Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel) Provinsi Sulawesi Utara, sekitar 80 Km dari Kota Manado, tradisi memindahkan rumah masih di pertahankan. Foto ini menggambarkan tentang suatu tradisi dari masyarakat Minahasa, khususnya masyarakat di Minahasa Selatan tepatnya di Kelurahan Bitung Kota Amurang, yakni suatu tradisi memindahkan rumah (rumah panggung, rumah pitate, dan rumah bulu).

Tradisi memindahkan rumah, oleh masyarakat Minahasa dikenal dengan sebutan Merawale. Rumah yang dipindahkan itu tanpa harus dibongkar, namun secara utuh digotong secara bersama-sama. Tradisi ini telah turun temurun dilakukan oleh masyarakat Minahasa
.  Kebersamaan dalam kehidupan sosial di Minahasa, salah satunya diwujudkan dengan tradisi merawale. Baik anak-anak, remaja, pemuda maupun orang tua terlibat dalam tradisi ini tanpa memandangstatus sosial.

Merawale biasanya dikomandoi oleh seseorang yang dituakan dan dianggap berpengalaman agarrumah yang akan dipindahkan dapat diangkat secara lebih mudah.
Merawale juga adalah simbol kepolosan dan rasa kebersamaan masyarakat tanpa rekayasadalam kehidupan sosial di Minahasa. Siapa saja yang terlibat dalam merawale tidak dibayar dengan uang, akan tetapi hanya mendapat ucapanterima kasih dari yang empunya rumah.

Salah satu bentuk ucapanterima kasih diwujudkan dengan diberikan sajian minuman seperti teh manis, kopi, dan air putih; rokok, atau kue seperti kue cucur, onde-onde dan nasi jaha.
Pakaian Adat Suku Mongondow

Pakaian Adat Suku Mongondow

Pada masa raja-raja (Kolano) sejak raja pertama hingga raja ke-6 yaitu Mokoagow, biasanya disebut Datu Ireatan, karena pakaian raja ketika itu amat banyak  perhiasannya. Bahan pakaian dibuat dari kulit kayu (kayu lanut).Pakaian Raja dalam perkembangan kemudian adalah :Warna merah melambangkan kewibawaan dan keberanian raja sebagai pucuk  pimpinan pemerintahan dan sebagai sumber kekuasaan dan kekuatan yang diperolehdari rakyat secara bulat kharismatis di seluruh kerajaan. Pada bagian dada dihiasi 3susun rantai emas dan kancing emas yang melukiskan keagungan raja. Pengikatkepala bercabang dua menandakan kepemimpinan yang membedakannya dengan ikatkepala bagi pejabat-pejabat pemerintah lainnya. Selempang kuning keemasan sebagaitanda keagungan raja yang diselempangkan dari bahu kiri ke pinggang kanan. Pada pinggang yang diikat dengan kain kuning keemasan, diselipkan keris dan tangan kananmemegang tongkat kebesaran (Ki Sinungkudan). Bahan pakaian sesuai aslinya adalahhasil tenun (inabol), namun alat tenun kini tidak ada lagi. Pakaian raja ini digunakansejak adanya hubungan persahabatan dengan pedagang dari luar, sehingga bentuk  pakaian sedah banyak persamaan dengan daerah lain.
1. Pakaian Permaisuri 

 Baju asli disebut salu' dari jenis kain berhias emas, pada ujung lengan baju kiri dankanan terdapat kancing emas masing-masing sebanyak 9 buah. Kain pelekat songket yang ditenun sendiri bila menurut aslinya. Pada pergelangan kanan dan kiri masing-masing dipakaikan gelang emas yang disebut pateda. Memakai selendang yang disebut aluang . Payung kerajaan warna kuning berhias emas menyatakan keagunganraja dan permaisuri (Datu' bo Boki'). Pemegang payung raja memakai baju adat denganikat kepala biasa, pada pinggang diikatkan songket yang disebut  pomerus sebagai penghormatan kepada pejabat yang lebih tinggi.

2. Pakaian Gogugu atau Sadaha tompunuon

Gogugu adalah pelaksana utama pemerintahan mewakili raja, sebagai penghubung rajadengan aparat pemerintahan lainnya sampai kepada rakyat, demikian juga sebaliknya.Dalam kerajaan hanya terdapat seorang gogugu. Bentuk baju gogugu sama denganraja, berwarna kuning sebagai lambang kebesaran dan keagungan, sesuai dengantugasnya sebagai pelaksana utama pemerintahan membawa rakyat pada kemakmuranan kesejahteraan yang di Bolaang Mongondow ditandai dngan padi dan emas yangmenguning. Selempang dan ikat pinggang sama, perbedaan pakaian raja dan goguguhanya pada ikat kepala. Ikat kepala raja berbentuk tanduk dua yang condong kekanan,sedangkan ikat kepala gogugu hanya satu tanduk.

3. Pakaian Panggulu

Seorang panggulu mengepalai pemerintahan dalam satu distrik (setingkat kecamatan).Pakaian panggulu berwarna jingga untuk membedakan dengan pakaian raja dangogugu, tapi bentuknya sama. Beberapa variasi seperti pici berhias perak sudahmerupakan pengaruh luar.

4. Pakaian kimalaha atau bobato (kepala desa)

Bentuk pakaian sama dengan raja. Warna polos menurut selera pemakainya. Ikatkepala biasa. Pada pinggang diikatkan  pomerus sebagai penghormatan kepada pejabatyang lebih tinggi. Kepala desa dapat juga memakai tongkat, sehingga dalam jabatannya biasa juga di gelar
 Ki  Sungkudan asal kata tungkud = tongkat.

5. Pakaian guhanga (kepala adat)


Baju  salu' pris berwarna polos bebas menurut selera pemakainya. Celana biasa samadengan warna baju. Memakai kain pomerus pada pinggang. Ikat kepala bercabang bila menhadiri upacara kebesaran, miaslnya menjemput tamu agung, atau pada  penobatan raja, sedang bentuk biasa bila menghadiri upacara di desa atau waktumenyelesaikan maskawin.

6. Pakaian pesta untuk petani pria


Bentuk baju dan celana sama dengan pakaian guhanga. Ikat kepala biasa tidak  bercabang. Tidak memakai Pomerus


7. Pakaian pesta untuk petani wanita

Warna baju bebas menurut selera. Baju  salu'  panjangnya sampai dibawah lutut.Selendang biasa. Kain pelekat biasa. Pada pergelangan tangan searusnya ada gelangdari tiram yang disebut bolusu.


8. Pakaian kerja petani pria
Baju tidak berlengan yang disebut
 paka'
dari kain tenunan asli namun kini digantidengan kain strep yang sejenis dengan motif tenunan asli. Celana batik dasar hitamyang banyak persamaan motifnya dengan motif tenunan asli. Ikat kepala bentuk biasatenunan asli tapi kini sudah diganti dengan batik.

9.Pakaian kerja petani wanita

Kebaycit  biasa, lengan baju disinsingkan. Memakai kudung (aluang) diatas kepalasebagai peindung dari panas matahari. Kain pelekat biasanya agak tinggi hingga betis.Biasanya ibu-ibu menyandang bakul (
kompe') tempat mengisi sirih pinang.

10.Pakaian nelayan pria

Sama dengan pakaian petani pria, tetapi memakai toyung (tolu). Pendududk asli yangtinggal di pedalaman, pokok pencaharian utama adalah bertani, berburu, sedangkanyang tinggal di pesisisr pantai adalah nelayan.

11. Pakaian wanita bukan pengantin


 Baju salu' warna polos bebas, pada lengan baju kiri dan kanan berkancing 5 sampai 7 buah. Kain pelekat biasa atau pelekat songket. Memakai selendang (aluang). Bagiyang mampu dapat memakai gelang emas atau perak (pateda) atau gelang dari lokan(bolusu).

12. Pakaian pengantin pria

Baju baniang warna menurut selera pemakai. Celana biasa sama warna dengan baju.Ikat kepala pengantin dari golongan bangsawan atau putra seorang pejabat boleh

Tari Cakalele ternyata tidak dimiliki oleh masyarakat Ambonsaja, suku Minahasa ternyata juga memiliki budaya tarian perang itu. Tentunya, dengan gaya gerakan dan pakaian yang memiliki khas tersendiri.

Bentuk pakaiannya, dengan menggunakan dasar kain karung goni. Kemudian di seluruh permukaannya dihiasi rumbai-rumbai kain berwarna merah dengan panjang hingga di bawah lutut. Pada kaki, pada bagian betis, dibebat dengan bahan yang sama. Sebagai alas kaki, penari mengenakan sandal khusus yang juga terbuat dari karung goni.

Paling menarik adalah mahkota yang mereka pakai. Berbentuk kepala burung, dengan moncong lancip berwarna kuning. Kemudian di atasnya bulu-bulu yang berasal dari bulu ekor dan sayap ayam jantan. Tapi itu untuk penari bagian prajurit. Sedangkan bagi sang pemimpin, mahkotanya menggunakan bulu dan sayap dari burung elang. “Ini sebagai simbol dari kekuatan sang pemimpin. Termasuk kalung tiga tengkorak yang saya pakai ini,” jelas Odi, penari yang mendapat bagian sebagai pemimpin.

Tiga tengkorak yang bergerai di leher Odi itu merupakan tulang tengkorak dari monyet. Masih menurut Odi, seharusnya tengkorak yang dipakai adalah tengkorak manusia. Tapi zaman sekarang siapa yang mau menyediakan dan menggunakan tengkorak manusia hanya sekadar untuk menari. “Jadi para pemimpin adat Minahasa sepakat menggantinya dengan tengkorak monyet ini,” tandas Odi.

Tak hanya itu, untuk prajurit, mereka dilengkapi dengan tameng kayu dan tombak. Sedangkan pemimpinnya cukup dengan tombak. Kemudian gerakan tarian mereka, terbagi menjadi beberapa bagian. Mulai dari persiapan, maju berhadap-hadapan, hingga saling serang. Kemudian diakhiri dengan saling mundur. Uniknya, sebelum dan sesudah menari, mereka lebih dulu saling memberi penghormatan.

Sebagai iringan, tarian ini cukup menggunakan alat musik sederhana. Sebuah drum kecil yang dipukul bertalu-talu dan berhenti sejenak, setiap sang pemimpin meneriakkan komando.

Menari Cakalele itu sendiri bagi Odi dan rekan-rekannya sudah menjadi pekerjaan. Mereka tergabung dalam sanggar kesenian yang ada di Tondano Timur dan selalu berlaga di depan wisatawan yang datang ke Danau Tondano. “Kalau sedang tak ada wisatawan dan tidak menari, kami biasanya bekerja di ladang atau sawah,” ungkap Deran, salah satu penari lain yang menari sebagai prajurit.

Rumah Kayu Minahasa - Indonesia mempunyai sumber kayu yang sangat melimpah, tak hayal pada zaman dahulu kala banyak rumah yang dibangun berbahan kayu, salah satu adalah rumah kayu minahasa. Rumah kayu Minahasa yang dikenal dengan sebutan Wale atau Bale.

Ciri khas yang paling menonjol dari rumah kayu minahasa ini adalah Rumah Panggung dengan 16 sampai 18 tiang penyangga. Pada zaman dahulu ada rumah tradisional keluarga besar yang dihuni oleh enam sampai sembilan keluarga. Masing-masing keluarga merupakan rumah tangga tersendiri dan mempunyai dapur atau mengurus ekonomi rumah tangga sendiri.

Namun Kini, jarang dijumpai  rumah kayu minahasa dengan adat ini. Secara garis besar rangakaian rumah kayu minahasa ini terdiri atas emperan (setup), ruang tamu (leloangan), ruang tengah (pores) dan kamar-kamar. Ruang paling depan (setup) berfungsi untuk menerima tamu terutama bila diadakan upacara keluarga, juga tempat makan tamu.

Disamping itu, pada bagian belakang rumah terdapat balai-balai yang berfungsi sebagai tempat menaruh  alat dapur dan alat makan, serta tempat mencuci. Di sisi atas rumah atau loteng (soldor) yang berguna sebagai tempat menyimpan hasil panen seperti jagung, padi dan hasil lainnya. Di bagian bawah rumah (kolong) biasanya digunakan untuk gudang tempat menyimpan papan, balok, kayu, alat pertanian, gerobak dan hewan peliharaan.

Yang unik adalah, rumah kayu di warga di Minahasa tidak beratapkan genteng. Karena folosofi yang dianut adalah tak baik jika hidup di bawah tanah (genteng terbuat dari tanah). Rata-rata rumah mereka beratapkan seng, daun, atau elemen besi lainnya. Mereka beranggapan hanya orang meninggal saja yang bertempat tinggal di bawah tanah. Sekali pun ada yang beratapkan genteng, umumnya rumah tersebut milik kaum pendatang. Meskipun demikian, banyak juga rumah orang Minahasa yang beratapkan seng namun didesain seperti genteng.

Dengan adanya tingkat atau kelas didalam masyarakat Bolaang Mongondow , hal itu berpengaruh terhadap pelaksanaan adat istiadat seperti pada upacara perkawinan.

Pada upacara ini ,pakaian pengantin  yang biasanya dipakai oleh pengantin dari bangsa bangsawan dipakai kembali pada upacara perkawinan.

 Begiu juga mulai saat peminangan sampai saat mengantar Tali' atau biasa disebut mas kawin . Untuk Tali' tedapat perbedaam besarnya Tali' untuk membayar mas kawin dan tidak sepenuhnya dibayar dalam bentuk uang, namun sebagian berupa harta atau tanah , sawah ,kebun ,pohon kelapa yang dinamakan lakar-lakar atau barang motogat.

 Selain mas kawin maka dalam upacara ini, terdapat biaya-biaya yang timbul  atas penetapan adat yang harus dipersiapkan oleh keluarga mempelai laki-laki , antara lain :
1.      Pongiooan adalah uang yang diberikan sebagai tanda syukur atas diterimahnya pinangan.
2.       Potarapan adalah sejumlah atau seperangkat alat kecantikan yang dibawa serta keluarga calon mempelai  lakil-laki untuk melihat calon mempelai wanita.
3.      Pakeang Tobaki adalah satu stel  pakaian lengkap.
4.      Poleadan adalah sejumlah uang yang diberikan kepada calon mempelai wanita.
5.      Guat adalah sejumlah uang yang diberikan kepada orang tua mempelai wanita atas kerelaanya melepaskan tanggung jawab terhadap anak gadisnya.
6.      Potulokan adalah sejumlah uang yang diberikan kepada orang tua mempelai wanita atas kesediaanya mengizinkan anak gadisnya mulai tinggal satu rumah dengan suaminya.     
Setelah selesai menjankan akad nikah dan pesta perkawinan , mempelai wanita oleh keluarga laki-laki berkewajiban menjankan adat Mogama' atau menjemput membelai wanita berkunjung kerumah mempelai laki-laki.Acara Gama' ini sangat penting karena kalau tidak di Gama' konon kata masyarakat-masyrakat  Adat mengatakan mempelai wanita dianggap tabu berkunjung kerumah orang tua mempelai laki-laki.


 Selain itu , untuk menabuhkan Kulintang atau Gendang menjelang atau saat pernikahan hanya diperkenankan bagi golongan bangsawan dan Kohongian, dan bagi rakyat atau Tuang Lipu' tidak diperbolehkan kecuali ada izin langusung dari salah satu tokoh golongan bangsawan.

Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah – Tari gambyong merupakan salah satu bentuk tari tradisional Jawa. Tari gambyong ini merupakan hasil perpaduan tari rakyat dengan tari keraton. ‘Gambyong’ semula merupakan nama seorang waranggana – wanita terpilih atau wanita penghibur – yang pandai membawakan tarian yang sangat indah dan lincah. Nama lengkap waranggana tersebut adalah Mas Ajeng Gambyong. Awal mulanya, tari gambyong sebagai bagian dari tari tayub atau tari taledhek. Istilah taledhek tersebut juga digunakan untuk menyebut penari tayub, penari taledhek, dan penari gambyong. Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah juga dapat diartikan sebagai tarian tunggal yang dilakukan oleh seorang wanita atau tari yang dipertunjukkan untuk permulaan penampilan tari atau pesta tari. Gambyongan mempunyai arti golekan ‘boneka yang terbuat dari kayu’ yang menggambarkan wanita menari di dalam pertunjukan wayang kulit sebagai penutup.

Seiring dengan perkembangan zaman, Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah mengalami perubahan dan perkembangan dalam bentuk penyajiannya. Pada awalnya, bentuk sajian tari gambyong didominasi oleh kreativitas dan interpretasi penari dengan pengendang. Di dalam urut-urutan gerak tari yang disajikan oleh penari berdasarkan pada pola atau musik gendang. Perkembangan selanjutnya, tari gambyong lebih didominasi oleh koreografi-koreografi tari gambyong. Perkembangan koreografi ini diawali dengan munculnya tari Gambyong Pareanom pada tahun 1950 di Mangkunegaran, dan yang menyusun ialah Nyi Bei Mintoraras. Setelah kemunculan tari Gambyong Pareanom, banyak varian tarian gambyong yang berkembang di luar Mangkunegaran, diantaranya Gambyong Sala Minulya, Gambyong Pangkur, Gambyong Ayun-ayun, Gambyong Gambirsawit, Gambyong Mudhatama, Gambyong Dewandaru, dan Gambyong Campursari.

Perkembangan Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah
Dari tahap ke tahap perkembangan tari gambyong, pada tahun 1980-an merupakan perkembangan yang paling pesat. Hal ini ditandai dengan semakin banyak bentuk sajian yang memodifikasi unsur-unsur gerak dengan perubahan tempo, volume, dinamik, kualitas gerak, dan lain sebagainya. Semakin meningkatnya frekuensi penyajian dan jumlah penari, membuat tari gambyong menjadi berubah dari sisi fungsi Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah dalam kehidupan masyarakat. Tari gambyong yang dulunya berfungsi sebagao tontonan dan hiburan, berkembang menjadi tari untuk penyambutan tamu dalam berbagai acara. Selain itu, peningkatan jumlah penari yang disebabkan oleh bentuk sajian secara masal dan ditambah dengan rentang usia penari yang bervariasi, dari gadis remaja sampai ibu-ibu. Saat ini bahkan seni tari gambyong sudah berbaur di berbagai tingkatan pendidikan, dari mulai PAUD sampai Perguruan Tinggi. Dari hal tersebut, menandakan bahwa Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah memiliki sifat njawani atau khas Jawa yang tidak akan cepat hilang tertelan zaman, situasional, dan fleksibel. Menurut Dewi Sulastri, seorang penari dan sekaligus pendiri Drama Wayang Orang Swargaloka, untuk melestarikan budaya khususnya tari, hal yang sangat penting adalah kita mampu berinovasi sesuai perkembangan zaman, tetapi tetap berpegangan pada akar budaya tersebut. “Karena dunia saya tradisional, saya lebih tertarik pada tradisional, tetapi tari tradisional itu bisa kita kembangkan menjadi tari kontemporer, sesuai dengan perkembangan zaman” tuturnya. Ditambahkan lagi upaya untuk melestarikannya dengan cara menarik minat generasi muda dengan memberikannya nilai-nilai budaya yang luhur sejak dini. Selain itu, ‘kemasan’ budaya haruslah dibuat semenarik mungkin untuk membuat orang tertarik belajar budaya tersebut, paparnya.

Pada zaman ini, Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah memiliki perubahan nilai estetis dan dipadati oleh koreografi yang menarik. Nilai khas tari gambyong terletak pada ornamen-ornamen gerak tari dan keharmonisan pada gerak dan pola irama kendang. Penghayatan total dan disertai dengan wilet yang bagus akan sangat menambah nilai sensualnya. Hal ini merupakan daya tarik bagi penonton untuk menikmati pertunjukan tari gambyong ini. Ke depannya, tari gambyong semakin meningkat dari segi kualitas (peningkatan nilai estetisnya) dan segi kuantitas (peningkatan jumlah koreografi, penyajian, dan jumlah penari). Sebagai generasi penerus, kita berkewajiban untuk nguri-uri atau melestarikan dan mengembangkan budaya milik kita sendiri.
tari pendet

SEJARAH TARI PENDET BALI 
Sejarah tari Pendet Bali – Tari Pendet termasuk dalam jenis tarian wali, yaitu tarian Bali yang dipentaskan khusus untuk keperluan upacara keagamaan. Tarian ini diciptakan oleh seniman tari Bali, I Nyoman Kaler,pada tahun 1970-an yang bercerita tentang turunnya Dewi-Dewi kahyangan ke bumi. Meski tarian ini tergolong ke dalam jenis tarian wali namun berbeda dengan tarian upacara lain yang biasanya memerlukan para penari khusus dan terlatih, siapapun bisa menarikan tari Pendet, baik yang sudah terlatih maupun yang masih awam, pemangkus pria dan wanita, kaum wanita dan gadis desa.
Pada dasarnya dalam tarian ini para gadis muda hanya mengikuti gerakan penari perempuan senior yang ada di depan mereka, yang mengerti tanggung jawab dalam memberikan contoh yang baik. Tidak memerlukan pelatihan intensif. Pada awalnya Sejarah tari Pendet Bali ini merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di Pura, yang menggambarkan penyambutan atas turunnya Dewa-Dewi ke alam marcapada, merupakan pernyataan persembahan dalam bentuk tarian upacara. Lambat laun, seiring perkembangan zaman, para seniman tari Bali mengubah tari Pendet menjadi tari “Ucapan Selamat Datang”, dilakukan sambil menaburkan bunga di hadapan para tamu yang datang, seperti Aloha di Hawaii. Kendati demikian bukan berarti tari Pendet jadi hilang kesakralannya. Tari Pendet tetap mengandung anasir sakral-religius dengan menyertakan muatan-muatan keagamaan yang kental.Dan tari pendet disepakati lahir pada tahun 1950.

Sejarah tari Pendet Bali (Sakral)
Biasanya Sejarah tari Pendet Bali dibawakan secara berkelompok atau berpasangan oleh para putri, dan lebih dinamis dari tari Rejang. Ditampilkan setelah tari Rejang di halaman Pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih). Para penari Pendet berdandan layaknya para penari upacara keagamaan yang sakral lainnya, dengan memakai pakaian upacara, masing-masing penari membawa perlengkapan sesajian persembahan seperti sangku (wadah air suci), kendi, cawan, dan yang lainnya. Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Wayan Dibia, menegaskan bahwa menarikan tari Pendet sudah sejak lama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat Hindu Bali. Tarian ini merupakan tarian yang dibawakan oleh sekelompok remaja putri, masing-masing membawa mangkuk perak (bokor) yang penuh berisi bunga.
Pada akhir tarian para penari menaburkan bunga ke arah penonton sebagai ucapan selamat datang. Tarian ini biasanya ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu atau memulai suatu pertunjukkan (1999: 47). Pencipta atau koreografer bentuk modern Sejarah tari Pendet Bali ini adalah I Wayan Rindi (?-1967), merupakan penari yang dikenal luas sebagai penekun seni tari dengan kemampuan menggubah tari dan melestarikan seni tari Bali melalui pembelajaran pada generasi penerusnya. Semasa hidupnya ia aktif mengajarkan beragam tari Bali, termasuk tari Pendet kepada keturunan keluarganya maupun di luar lingkungan keluarganya. Menurut anak bungsunya, I Ketut Sutapa, I Wayan Rindi memodifikasi Tari Pendet sakral menjadi Tari Pendet penyambutan yang kini diklaim Malaysia sebagai bagian dari budayanya. Keluarga I Wayan Rindi sangat menyesalkan hal ini. Semasa hidupnya I Wayan Rindi tak pernah berpikir untuk mendaftarkan temuannya agar tak ditiru negara lain.

Sejarah tari Pendet Bali (Penyambutan)
Di samping belum ada lembaga hak cipta, tari Bali selama ini tidak pernah dipatenkan karena mengandung nilai spiritual yang luas dan tak bisa dimonopoli sebagai ciptaan manusia atau bangsa tertentu. Dalam hal ini, I Ketut Sutapa, dosen seni tari Institut Seni Indonesia (ISI) Bali mengharapkan pemerintah mulai bertindak untuk menyelamatkan warisan budaya nasional dari tangan jahil negara lain.
Menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan sejarah seharusnya lebih proporsional dari pendekatan ilmu pengetahuan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), karena HAKI adalah produk budaya barat yang baru eksis kemudian. HAKI tidak cukup layak mengamankan produk-produk budaya sebelum HAKI didirikan, apa lagi pemanfaatannya lebih berorientasi kolektifitas, bukan individualitas seperti paham budaya barat. HAKI tidak akan sepenuhnya dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat beradab dan bermartabat. HAKI diarahkan untuk kepentingan ekonomis, sedangkan produk-produk budaya Indonesia lebih berorientasi kepentingan sosia

Mitoni iku asalé saka tembung pitu (7). Upacara adat iki dianakaké wektu calon ibu nggarbini utawa meteng 7 sasi. Ancasé kanggo keslametan calon bayi lan ibuné utawa kanggo sing sipaté tolak bala. Ing dhaérah tartamtu, upacara iki uga diarani tingkeban. Makna Jabang bayi umur 7 sasi iku wis nduwe raga sing sampurna. Dadi miturut pangertene wong Jawa, wetengan umur 7 sasi iki proses pangriptane manungsa iku wis nyata lan sampurna ing sasi kaping 7. Reroncen acara kanggo upacara mitoni iki luwih akeh tinimbang upacara ngupati. Urut-urutane yaiku siraman, nglebokake endhog pitik kampung ning njero kain calon ibu dening calon bapak, salin rasukan, brojolan (nglebokake klapa gadhing enom), medhot lawe utawa lilitan benang (janur), mecahake wajan lan gayung, nyolong endhog lan pungkasane yaiku kendhuren. Acara siraman mung dianakake kanggo mitoni anak sing nomer siji. Miturut adat Jawa mitoni iku kudu dianakake ing dina sing temenan apik yaiku dina Senen awan nganti mbengi utawa dina Jemuah awan nganti mbengi. Rangkeyan Acara Rantaman adicara kanggo upacara mitoni iki luwih akeh tinimbang upacara ngupati, urut-urutan yaiku siraman, nglebokake endhog pitik kampung ing njero kain calon ibu dening calon bapak, salin rasukan, brojolan nglebokake cengkir klapa gadhing, medhot lawe utawa lilitan benang janur, mecahake wajan lan gayung, nyolong endhog lan pungkasan kendhuri kendhuren. Acara siraman namung dianakake kanggo mitoni anak mbarep. Wektu Miturut adat Jawa mitoni iku kudu diadani ing dina sing temenan apik yaiku dina Senen awan nganti mbengi utawa uga dina Jemuwah awan nganti mbengi, saderengipun wulan 'purnamasidhi'.
Festival Memeden Gadu adalah Tradisi mengusir musuh alami petani, diperkenalkan kembali dalam Festival Memeden Gadu 2013 di Kabupaten Jepara, yang berlangsung Senin (30/9) lalu. festivel ini bermakna, para petani sudah kehabisan cara untuk mengusir hama sebagai musuh alami itu. Ketika mereka sedang menggarap sawah, beragam hama telah mengintainya, seperti: tikus, wereng, belalang, dan burung- burung. Selain festival ini bertujuan mengajak petani, masyarakat agar kembali menghidupkan memeden gadu dengan menyelenggarakan festival, Senin 30 September 2013. Tema yang diusung adalah "Soko Pari Marang Gusti".  Festival itu melibatkan petani yang tergabung dalam Gabungan Masyarakat Peduli Tradisi dan Budaya Jepara . Selain itu festival itu juga memiliki misi memperkenalkan kepada generasi muda tentang kebudayaan petani setempat dalam mengusir burung yang dianggap mengganggu tanaman padi. Festival itu berlangung di kompelks pemakaman Bolem Desa Kapuk, Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara. dalam festivel ini Ada 200 karya memeden sawah mengikuti festival dengan beragam bentuk. Bentuknya beragam, mulai dari wanita berbusana berjilbab hingga berbusana petani bertopi caping. Dan, lelaki berbusana jawara hingga petani bercaping. Ada yang berpose gaul, seperti bersepeda, berdiri, mengendarai sepeda motor, suami- istri bercengkerama hingga naik kuda- kudaan.  Dalam festival itu, juga disuguhkan pameran benda- benda pertanian tempo dulu, seperti garu, luku, cangkul, penggiling jagung, lesung dan alu. Juga, ada piring, teko dan cangkir zaman dulu.

Festival Memeden Gadu

Festival Memeden Gadu di jepara

Festival Memeden Gadu di jepara

Festival Memeden Gadu jepara

seni Ukiran khas jepara

Inilah motif khas Jepara.
Para pengukir jepara pandai menyesuaikan diri dengan gaya ukiran baru. Mereka tidak hanya membuat gaya ukiran khas Jepara saja tapi ukiran lainnya yang tak kalah menarik. Meskipun ukiran Jepara beragam, sebaiknya kita tidak melupakan gaya ukiran khas Jepara. Biasanya disebut ornamen Jepara. Meskipun tak ada sebutan khusus, tapi ia dapat dikenali dari ciri khasnya. Ukiran Jepara mengambil bentuk dedaunan. Ada yang mengatakan itu adalah daun tanaman wuni. Wuni adalah jenis rerumputan liat yang banyak tumbuh di Jepara.
Ukiran relief Jepara yang banyak digemari.
Tanaman itu memiliki buah kecil-kecil yang digemari burung. Bentuk tanaman wuni itu diolah seniman ukir menjadi bentuk desain ukiran yang indah. Ciri khas ukiran itu, daunnya digambarkan melengkung-lengkung luwes. Seolah ada iramanya. Ujung daunnya runcing. Buah-buah kecil diukir menggerombol. Kadang, ditambahkan ukiranburung yang hendak mematuk buah itu. Ukiran gaya Jepara ini dulu banyak diukirkan pada peti-peti kayu. Meja kursi juga ada. Tapi, sekarang jarang diukirkan pada meubel lagi. Ukiran Jepara yang berkembang saat ini justru banyak yang merupakan hasil kreasi baru.
Prosesi upacara perang obor ini berlangsung setelah isya' pada hari senin malam selasa bulan Dzulhijah. sebelum acara di mulai, di adakan berbagai macam ritual di desa tegal sambi, diantaranya yaitu dilakukanya selamatan ke tuju tempat yang dikeramatkan didesa Tegal Sambi bersama para bayan, dan Lurah Tegal Sambi . Setelah itu dilakukan penyembelihan kerbau jantan muda yang belum pernah dipakai untuk membajak sawah. Penyembelihan ini dilakukan di depan rumah petinggi desa Tegal Sambi .
Pada sore hari menjelang malam selasa Pon. Salah satu perangkat desa(bayan) dan seksi keamanan menaruh sesajen (berupa kendil berisi darah kerbau, sebagian jeroan, dan daging yang sudah dimasak). Menjelang isya' acara segera dimulai, banyak warga dari luar desa bahkan luar kota ataupun mancanegara yang datang menyaksikan. Sebelum api obor disulut pada pukul 20.00 WIB, petinggi diarak oleh pasukan obor mulai dari rumahnya hingga ke pusat upacara, di perapatan jalan tengah desa. Petinggi mengenakan pakaian adat jawa, diapit dua pawang api dan sesepuh desa. Perang Obor diikuti sekitar 50 -100 peserta. Perang berlangsung sekitar 1 hingga 2 jam sampai blarak habis. Jika ada salah satu peserta yang terkena luka api . Pasukan perang obor segera menuju ketempatnya petingi desa yang bernama ki Songgo buwono untuk diobati dengan air kembang pusaka yang turun temurun diwariskan kepada kepala desa Tegal sambi. .






Perang obor atau disebut juga obor-obor, merupakan salah satu upacara tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Kabupaten Jepara, khususnya Desa Tegal Sambi, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara. Upacara ini diadakan setahun sekali pada Senin Pahing, malam Selasa Pon di Bulan Jumadil Awal. Obor pada upacara tradisional ini adalah gulungan atau bendelan 2 (dua) atau 3 (tiga) pelepah kelapa yang sudah kering dan bagian dalamnya diisi dengan daun pisang kering. Obor yang telah tersedia dinyalakan bersama untuk digunakan sebagai alat untuk saling menyerang sehingga sering terjadi benturan–benturan obor yang dapat mengakibatkan pijaran–pijaran api yang besar, yang memunculkan nama Perang Obor. Upacara ini didasarkan atas legenda Ki Gemblong yang dipercaya oleh Kyai Babadan untuk merawat dan menggembalakan ternaknya. Namun karena terlena dengan ikan dan udang di sungai, ternak tersebut terlupakan sehingga sakit atau mati. Kyai Babadan yang tidak terima dengan kelalaian Ki Gemblong, memukul Ki Gemblong dengan obor dari pelapah kelapa. Akibatnya ia menggunakan obor serupa untuk membela diri. Tanpa diduga, benturan kedua obor menyebarkan api di tumpukan jerami di sebelah kandang. Ternak yang awalnya sakit tiba-tiba menjadi sembuh. Kepercayaan terhadap api obor yang mampu mendatangkan kesehatan dan menolak bala inilah yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan upacara Perang Obor.